Melihat Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan
Oleh : Quarthano Reavindo
Masalah pendidikan saat ini merupakan salah satu masalah serius yang sedang dihadapi dalam Kabinet Indonesia Maju. Secara umum Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim telah menyampaikan bahwa ada lima poin pokok rancangan kerjanya yaitu pendidikan karakter, deregulasi dan debirokrasi, meningkatkan inovasi dan investasi, penciptaan lapangan kerja, dan pemberdayaan teknologi.
Namun disisi lain tidak ada salahnya jika kita juga melihat bagaimana partisipasi masyarakat terhadap pendidikan di Republik yang kita cintai ini. Melihat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan di Indonesia pastilah tidak terlepas dari indikator yang dapat menggambarkan banyaknya penduduk yang memanfatkan fasilitas pendidikan di Indonesia. Indikator tersebut terdiri dari tiga yaitu, Angka Paritisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK) dan yang terakhir adalah Angka Partisipasi Murni (APM). Angka Partisipasi Sekolah merupakan indikator yang menunjukkan proporsi anak sekolah pada usia jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok usia yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut.
Dengan kata lain Angka ini menggambarkan persentase penduduk pada kelompok usia sekolah yang saat ini sedang bersekolah. Angka Partisipasi Sekolah dapat dipandang sebagai indikator dasar ukuran daya serap lembaga pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Disisi lain kita juga memiliki indikator Angka Partisipasi Kasar (APK), dari angka ini kita dapat memperoleh informasi tentang perbandingan antara jumlah siswa pada setiap jenjang pendidikan terhadap jumlah penduduk pada kelompok usia pendidikan yang bersesuaian, APK selanjutnya dinyatakan dalam persentase. Sedangkan dari Angka Partisipasi Murni (APM) secara spesifik kita dapat mengetahui perbandingan jumah siswa yang tepat waktu bersekolah sesuai dengan usia resmi di setiap jenjang pendidikan terhadap jumlah penduduk penduduk pada usia resmi tersebut, indikator ini juga dinyatakan dalam persentase.
Untuk ketiga indikator tersebut, Badan Pusat Statistik telah mengeluarkan data terakhir yaitu pada tahun 2018, Angka Partisipasi Sekolah Penduduk Indonesia untuk kelompok umur 7-12 tahun, 13-15 tahun, 16-18 tahun, dan 19-24 tahun besarannya masing-masing adalah 99,22 persen, 95,36 persen, 71,99 persen, dan 27,92 persen. Angka Partisipasi Kasar (APK) pada jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SM/MA, dan Perguruan Tinggi masing-masing adalah 108,48 persen, 91,23 persen, 80,11 persen dan 25,12 persen. Sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) pada jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SM/MA, dan Perguruan Tinggi masing-masing adalah 97,48 persen, 78,75 persen, 60,53 persen, dan 18,59 persen.
Ada dua permasalahan yang perlu kita cermati dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik tersebut. Permasalahan pertama adalah mengenai data yang menunjukkan rendahnya partisipasi sekolah penduduk yang berusia 16 -18 tahun dan 19 – 24 tahun, bahkan dalam lima tahun terakhir tidak pernah mencapai 80 persen dan 30 persen untuk masing-masing kelompok umur 16 – 18 tahun dan 19 – 24 tahun. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan partisipasi sekolah pada kelompok umur sebelumnya (7-12 tahun dan 13-15 tahun). Permasalahan kedua adalah data yang menunjukkan tentang rendahnya partisipasi penduduk pada jenjang pendidikan Perguruan Tinggi. Dalam lima tahun terakhir, APK maupun APM pada jenjang Perguruan Tinggi belum pernah menyentuh 30 persen.
Jika kita melihat realita yang ada tentang APS yang rendah pada kelompok umur 16-18 tahun dan 19-24 tahun, serta APK maupun APM yang rendah pada jenjang pendidikan Perguruan Tinggi, maka penyebab yang sering terjadi adalah karena tidak adanya motivasi di dalam keluarga untuk meningkatkan kualitas pendidikan anggota keluarganya, para orang tua cenderung sudah merasa puas dengan anak-anak mereka yang bersekolah hanya sampai jenjang pendidikan SMP. Penyebab lainnya adalah kondisi ekonomi yang menyebabkan anak-anak yang berusia 16 tahun ke atas harus juga terjun ke dunia kerja untuk membantu perekonomian keluarga.
Disamping itu faktor biaya pendidikan yang tinggi juga menjadi penyebab sehingga partisipasi penduduk pada jenjang pendidikan Perguruan Tinggi mengalami penurunanan yang cukup tajam jika dibandingkan dengan partisipasi penduduk pada jenjang pendidikan dibawahnya. Kita lihat saja data BPS tentang biaya pendidikan, BPS telah mencatat bahwa pada tahun ajaran 2017/2018 semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar pula rata-rata total biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh setiap siswa/ mahasisiwa. Biaya pendidikan untuk masing-masing jenjang pendidikan yang harus dikeluarkan dalam rupiah oleh siswa untuk tingkat pendidikan SD sederajat adalah sebesar 2,4 juta, SMP sederajat 4,23 juta, SMA sederajat 6,53 juta, bahkan biaya pendidikan untuk tingkat Perguruan Tinggi yang harus dikeluarkan oleh seorang mahasiswa adalah telah mencapai 15,33 juta.
Penutup
Pastinya kita tidak menginginkan generasi penerus bangsa kita hanya berpendidikan dasar saja. Untuk itu, jika kita melihat bahwa kemajuan bangsa ini dapat dicapai dengan pendidikan, maka harus ada pemahaman kepada orang tua tentang betapa pentingnya pendidikan yang tinggi dalam memperbaiki kondisi ekonomi keluarga bahkan pendidikan yang tinggi adalah modal terbaik dalam memperbaiki kondisi ekonomi bangsa. Terjunnya penduduk usia 16 tahun ke atas ke dunia kerja kalau dilihat dari sisi ketenagakerjaan memang sangatlah baik, karena meningkatkan partisipasi angkatan kerja. Akan tetapi hal tersebut haruslah juga diikuti dengan partisipasi mereka dalam dunia pendidikan, baik itu pada jenjang SMA sederajat maupun pada jenjang Perguruan Tinggi. Hal ini yang juga harus diperhatikan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk bisa mengubah pola pikir orang tua dalam mengasuh anak-anaknya. Disamping itu pemerintah juga harus menerapkan regulasi maupun terobosan baru dalam dunia pendidikan pada jenjang SMA sederajat hingga Perguruan Tinggi untuk bisa menyelenggarakan pendidikan pada jenjang tersebut dengan berkualitas dan terjangkau, sehingga pendidikan tinggi dapat dirasakan oleh seluruh penduduk di Republik yang tercinta ini.
Penulis adalah Fungsional Statistisi Ahli Muda Pada Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo