Sumut.KabarDaerah.com DPR dan Pemerintah sepakat menggelar Pilkada serentak 2020 pada 9 Desember. Hal ini menuai banyak protes dari pengamat dan pegiat pemilu. Sebab, pilkada digelar di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19.
Koordinator Nasional Seknas Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR), Alwan Ola Riantoby contohnya mengingatkan, pemerintah soal korban jiwa yang jatuh pada penyelenggaraan pemilu 2019 lalu. Hal tersebut bakal terulang dengan jumlah yang lebih besar, jika pelaksanaan Pilkada serentak tetap dipaksakan terjadi di 9 Desember.Dengan adanya pandemi Covid-19, maka yang terancam keselamatan jiwanya bukan saja para petugas dari sisi penyelenggara pemilu, melainkan juga dari masyarakat pemilih.
“Tidak hanya penyelenggaraan ad hoc yang menjadi korban kalau di 9 Desember nanti tetap dipaksakan, tapi semua masyarakat pemilih yang akan datang ke TPS nanti juga akan menjadi malapraktik di antara kita,” ujarnya.Menurut dia, jika berpegang pada prinsip demokrasi Indonesia, maka Pilkada serentak tidak dapat dilaksanakan di tengah pandemi yang disebabkan oleh virus SARS-Cov-2 itu. “Di situ akan semacam genosida kemanusiaan besar-besaran di tingkat TPS karena kita semua datang berkumpul,” tegas dia.
Pelaksanaan Pilkada serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19 akan berdampak pada menurunnya partisipasi masyarakat. Baik dari pemilih maupun juga dari jumlah kontestan yang akan bertarung.”Partisipasi tidak maksimal baik pemilih maupun partisipasi pasangan calon. Kalau 2015 ada 838 Paslon, mungkin 2020 kurang dari itu,” tandas dia.
Menyinggung sistem proporsional tertup Alwan Ola Riantoby apabila sistem proporsional tertutup diterapkan kembali dalam pelaksanaan pemilu di Tanah Air, maka artinya sistem pesta demokrasi akan kembali seperti era Orde Baru. ” Proporsional tertutup kita seperti kembali ke sistem lama, maka sistem oligarki kepartaian kembali menguat,” kata Alwan.
Seperti dalam Pasal 214 RUU tersebut, disebutkan nama bakal calon sebagaimana diatur Pasal 211 disusun berdasarkan nomor urut ditetapkan partai politik. Hal tersebut mempertegas penerapan sistem proporsional tertutup dalam pemilu sehingga kekuasaan penuh ada di partai. Artinya, kata Alwan, masyarakat diperbolehkan memilih wakil rakyat tetapi pemenangnya tetap akan ditentukan oleh partai calon bersangkutan. Oligarki di partai pun akan meluas apabila sistem proporsional tertutup diterapkan dalam pemilu. Dengan demikian, maka kompetisi sesungguhnya ada di internal partai dan bukan lagi di masyarakat.
“Ini juga menutup kanal partisipasi masyarakat yang lebih besar. Setelah atau dalam proses pemilu, ruang partisipasi masyarakat tertutup karena akses hubungan antara pemilih dengan wakil rakyat seperti dibatasi,” terang dia. Sistem proporsional tertutup juga menurutnya akan membuka ruang politik uang di internal partai berupa jual beli nomor urut. Dalam RUU Pemilu tersebut, kata Alwan, persoalan sistem proporsional tertutup terdapat di Bab 2 dan Bab 3, Pasal 206, 236, dan 259 yang meliputi pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.(As)