Sumut.KabarDaerah.com Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang sedianya akan digelar pada 23 September 2020, diharapkan dapat dilaksanakan ditahun depan, usai masa tanggap darurat berakhir dan penangan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia dapat diatasi.
“Belum ada kepastian bahwa Juni menjadi akhir dari penularan Covid 19 ini. Sedangkan pemerintah dan disetujui Komisi II DPR RI menyetujui pelaksanaan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020. Kalau ini dipaksakan, maka diprediksi kualitas pelaksanaan pilkada menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan serta sangat beresiko di tengah pandemi Covid-19,” ujar Pengamat Kebijakan Publik Sumut DR Sakhyan Asmara kepada awak media (Selasa 26/5/2020)
Seperti diketahui pemerintah telah mengeluarkan Perppu No 2 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota menjadi UU dengan dasar pertimbangan penyebaran Covid-19 telah menimbulkan banyak korban jiwa dan menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu serta telah ditetapkan sebagai bencana nasional.
Sebagai salah satu langkah penanggulangan penyebaran Covid-19, pemerintah mengambil kebijakan langkah luar biasa di tingkat pusat maupun daerah dengan menetapkan penundaan tahapan pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020.Diantara isi Perppu yang terkait dengan penundaan pilkada adalah dimasukkannya pasal 201A dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 yang diantara bunyinya adalah pemungutan suara serentak dapat ditunda karena terjadi bencana nonalam.Dan menurut Perppu tersebut dilaksanakan pada bulan Desember 2020.
Menurut Sakhyan, meski kesepakatan Komisi II DPR RI bersama pemerintah Mendagri dan KPU menetapkan tanggal pelaksanaan Pilkada serentah tanggal 9 Desember 2020, namun di dalam Perppu 2/2020 juga mengisyaratkan bahwa apabila pemungutan suara serentak tidak dapat dilaksanakan pada tanggal 9 Desember, maka pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam dinyatakan berakhir.
“Jadi jelas bahwa keputusan KPU tentang tanggal pelaksanaan pilkada serentak bukan paku mati. Masih ada kemungkinan terjadinya perubahan jika pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda berakhir,” katanya.Artinya, lanjut Sakhyan, Pilkada serentak dengan model pemilihan langsung, jangan dilaksanakan apabila pandemi Covid-19 belum berakhir di Indonesia.Jika dipaksa dilaksanakan padahal Covid-19 belum berakhir, akan menimbulkan pelbagai dampak yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Covid-19, dengan berbagai manifestasi bisa saja dijadikan alat untuk mematahkan lawan politik dengan cara-cara yang tidak sehat. Selain itu pada tahapan pelaksanaan pilkada langsung, pasti melalui proses pengumpulan orang, mulai dari proses pelatihan panitia pemilih, pelatihan saksi-saksi, proses sosialisasi, kampanye sampai komunikasi politik yang dilakukan oleh para calon dan partai politik tidak bisa dihindari akan dilakukan dengan komunikasi tatap muka,” ungkapnya.
Sementara, kata Sakhyan lagi, pendemi Covid-19 justru mengharuskan orang untuk menghindari kontak fisik atau tatap muka antara satu dengan lainnya.Dengan sistem komunikasi yang dibangun dalam protokol Covid-19, besar sekali kemungkinan terjadinya distorsi komunikasi.
“Jika pilkada serentak secara langsung akhirnya dipilih ditunda sampai tahun 2021 menunggu berakhirnya ancaman covid 19, akan sangat masuk akal dan tidak akan menimbulkan dampak politik yang besar. Sebab rakyat sekarang justru berkonsentrasi menghadapi virus corona, menghadapi kesulitan ekonomi. Masalah politik malah sudah tidak terpikirkan lagi oleh rakyat,” tegasnya.
Menurut Sakhyan Asmara jika pilkada tetap harus dilaksanakan, sebaiknya jangan dilaksanakan dengan sistem pemilihan langsung.Ada dua alternatif untuk mengganti sistem pemilihan langsung, yakni dengan cara online atau lewat pemilihan DPRD.
“Namun jika lewat online, akan membutuhkan waktu yang lama dalam mempersiapkannya, dan juga kita belum memilki sistem pengamanan yang baik untuk mencegah manipulasi dalam sistem pemilihan lewat online. Dan tidak bisa juga di asumsikan bahwa setiap pemilih sudah mempunyai alat komunikasi untuk melakukan pemilihan secara online. Jadi secara online bagi saya juga berat untuk dilaksanakan,” imbuhnya.
Satu-satunya yang bisa memenuhi harapan dan tidak bertentangan dengan landasan filosofi bangsa ialah kembali melaksanakan pemilihan melalui lembaga perwakilan.“Seperti yang pernah kita lakukan pada masa lalu. Dengan sistem ini, biaya bisa di hemat, resiko kontak fisik bisa dikurangi dalam porsi yang sangat besar, dan perumusan kebijakannya juga tidak sulit karena cukup melalui Perppu Perubahan Undang-Undang tentang Pemilu,” tuturnya.(As)