Sumut.KabarDaerah.com Reformasi demokratisasi di Indonesia telah membawa banyak kemajuan dalam mewujudkan konsolidasi demokrasi, salah satunya adalah kemajuan signifikan dalm hal kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat serta hak-hak sipil dan politik oleh PBB. Namun, ternyata masih terdapat perkembangan yang tidak diharapkan sehingga menjadi kendala dalam perwujudan konsolidasi demokrasi. Situasi ini muncul karena dalam proses transisi terdapat proses politik yang kompleks melibatkan berbagai kelompok dan aktor yang bersaing untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan (ekonomi dan politik). Eksistensi kelembagaan politik formal dan partai pemilu dalam proses politik yang kompleks tersebut agaknya memerlukan refleksi untuk mengukur perubahan dan keberlanjutannya dalam era reformasi.Berikut ini saya sajikan refleksi politik Pemilu Indonesia semenjak masa reformasi sampai dengan sekarang yang telah banyak mengalami dinamika yang sangat cepat.
1. Pemilu 1999
Rakyat sangat antusias dgn semangat idialis mendatangi tps utk memilih partai yg di harapkan dpt merubah perekonomian setelah resesi ekonomi 1997/1998
2. Pemilu 2004
Rakyat kecewa dgn hasil pemilu 2004, krn perokonomian tdk mengalami perubahan yg berarti, walau sistem tata negara, demokrasi telah banyak mengalami perubahan yg lebih baik, sehingga rakyat pesimis utk mendatangi tps utk memilih caleg dgn alasan sama saja bagi mereka siapa pun yg terpilih nasib mereka tdk ada perubahan yg berarti, kepesimisan rakyat di manfaatkan oleh caleg caleg yg berduit utk membeli suara rakyat dgn istilah ” Serangan Fajar” utk membodohi rakyat
3. Pemilu 2009
Rakyat telah terbiasa menerima uang dari para caleg sehingga tanpa malu malu telah menggadaikan suaranya dgn recehan rupiah kpd para caleg yg berduit dgn istilah “Nomor Piro Wani Piro/ NPWP
4. Pemilu 2014
Bagi caleg yg tdk memiliki rupiah dan ingin di pilih rakyat terpaksa putar otak dgn mempolitisasi ayat ayat dgn istitilah “Jihad” dan straregi ini sangat berhasil
5. Pemilu 2019
Intensitas issu agama semakin terstruktur dan masif dengan istilah ” Bela Umat / Bela agama/ Bela Islam ” utk menghipnotis rakyat tanpa rupiah, tanpa perjuangan agar terpilih
Fenomena politik ketakutan dan populisme telah menjadi fenomena global. Fenomena ini sekaligus mencerminkan dua sisi, politik harapan dan ketakutan. Harapan untuk massa dan kemenangan rakyat; ketakutan karena masyarakat yang semakin terpolarisasi dan rindu kembali ke jalan otoriterianisme baik di negara demokrasi lama maupun baru.
Indonesia harus bisa belajar dari dampak menghancurkan politik ketakutan yang memecah belah bangsa dan membuat mundur peradaban ke arah antikemanusiaan dan demokrasi. Karena itu, politik ketakutan harus dilawan dengan politik harapan. Politik yang membawa optimisme bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat.
Mari kita akhiri wacana politik ketakutan di penghujung 2018 ini dan kita sambut tahun politik 2019 sebagai tahun harapan agar proses demokrasi di Indonesia semakin dewasa. Kita jadikan momentum politik 2019 menjadi “momentum harapan” bagi rakyat dan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik.
Penulis :Ustadz Martono (Ketua Komunitas AKU CINTA INDONESIA (ACI)SUMUT)
Discussion about this post