*BPJS KETENAGAKERJAAN “SANG PENYABAR”*
Oleh : Dr. Chazali H.Situmorang, Apt, M.Sc, ( Ketua DJSN 2011-2015, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI), Direktur Social Security Development Institute)
Saat ini sudah terbit PP Nomor 49 Tahun 2018, tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja, tanggal 22 November 2018. PP tersebut merupakan amanat dari UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.Poin yang ingin disoroti terkait PP 49/2018 tersebut, adalah pasal 3 ayat i. *perlindungan*.*Perlindungan* Pasal 75, Ayat (1) Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa: *a. jaminan hari tua; b. jaminan kesehatan; c. jaminan kecelakaan kerja; d. jaminan kematian*; dan e. bantuan hukum.Ayat (2) Perlindungan berupa *jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian* sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dilaksanakan sesuai dengan *sistem jaminan sosial nasional*
Mari kita telusuri tentang “sistem jaminan sosial nasional” dimaksud. Nomenklatur tersebut ada pada UUD 1945, Pasal 34 ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. (2) *Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat* dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.Ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Menindaklanjuti ayat (4) Pasal 34 tersebut, maka diterbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jadi nomenklatur Sistem Jaminan Sosial Nasional tercantum dalam judul UU Nomor 40 tahun 2004.Dan pemahaman Sistem Jaminan Sosial Nasional diuraikan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2, _Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial_.Dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tantang BPJS, disebutkan bahwa ada 2 organ BPJS yaitu BPJS Kesehatan yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan yang menyeleggarakan program JKK, JKm,JHT dan JP.
Dari uraian diatas, sudah jelas dan terang benderang bahwa pemahaman PP 49 Tahun 2018, khususnya pada pasal 3 dan pasal 75 tidak ada tafsir lain, bahwa perlindungan dimaksud adalah perlindungan sosial, yang terdiri dari JK, JKK,JKm, JHT, dan JP , dengan menerapkan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diselenggarakan oleh badan penyelenggara jaminan sosial, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
UU SJSN juga menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pemberi kerja adalah orang, perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah,atau imbalan dalam bentuk lainnya.
Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1, ayat 12 UU SJSN. Tentu dengan menggunakan akal sehat kita mempunyai pemahaman yang sama yaitu *tidak membedakan pemberi kerja penyelenggara negara dengan bukan penyelenggera negara. Tidak boleh ada kebijakan yang berbeda dan tidak boleh ada perlakukan yang berbeda*.Kita lihat Perpres 109 Tahun 2013, tentang Penahapan Kepesertaan Program Jaminan Sosial. Perpres ini menjalankan amanat Pasal 13 ayat (2) UU SJSN, tentang KEPESERTAAN DAN IURAN.Pasal 13 ayat (1) Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti. (2) *Pentahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden*.
Dalam Perpres 109 tersebut, tegas menyatakan pentahapan kepesertaan program jaminan sosial, baik oleh pemberi kerja penyelenggara negara maupun bukan penyelenggara negara , mendaftarkan kepesertaannya pada BPJS Kesehatan untuk program jaminan kesehatan, dan BPJS ketenagakerjaan untuk 4 program JKK, JKm,JHT, dan JP.Jadi jika ada lembaga atau pihak teretentu yang menyatakan bahwa Perpres 109 Tahun 2013 tidak berlaku atau dapat diabaikan karena sudah ada PP 44 Tahun 2015, dan PP 70 Tahun 2015. Itu ngawur.Saya dapat memastikan bahwa PP 44 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian ada pasal yang tidak sesuai dengan perintah UU SJSN.
Kita lihat Pasal 2 ayat (1) Program JKK dan JKM diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Ayat ini sudah benar sesuai dengan UU SJSN. Tetapi kita cermati ayat (2) yaitu Program JKK dan JKm bagi Peserta pada Pemberi Kerja penyelenggara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.*Tidak ada dalam norma atau pasal-pasal UU SJSN yang menyatakan bahwa Pemberi Kerja penyelenggara negara diatur secara terpisah dalam Peraturan Pemerintah*. Jelas ini penyeludupan pasal yang menyebabkan rancunya pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan.
PP 44 Tahun 2015 ini lah yang di coba untuk menjadi pintu masuk PP 70 tahun 2015 Tentang Jaminan Kecelakaan kerja dan Jaminan Kematian bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara. Padahal senyatanya PP 70/2015, tidak menjadikan PP 44/2015 sebagai dasar Menimbang maupun Mengingat.Terekait penyelenggaraan JKK, dan JKm, PP 70 tersebut mengabaikan UU SJSN, dan hanya merujuk pada UU ASN. Padahal dalam UU ASN juga disebutkan terkait dengan perlindungan, mengikuti program jaminan sosial, bahkan untuk PPPK disebut sistem jaminan sosial nasional.
Untuk PNS, dalam UU ASN tersebut pada Paragraf 14 menjelaskan tentang Perlindungan yaitu pada *Pasal 92* ayat (1) Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa: a. *jaminan kesehatan; b. jaminan kecelakaan kerja; c. jaminan kematian*; dan d. bantuan hukum.Ayat (2) Perlindungan berupa *jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja,* dan *jaminan kematian* sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c,*mencakup jaminan sosial yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional*
Bagaimana untuk PPPK. Tertuang dalam Paragraf 10 Perlindungan Pasal 106 ayat (1) Pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa: a. *jaminan hari tua; b. jaminan kesehatan; c. jaminan kecelakaan kerja; d. jaminan kematian*; dan e. bantuan hukum.
Ayat (2) Perlindungan berupa *jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian* sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dilaksanakan sesuai dengan *sistem jaminan sosial nasional.*
PP 70 Tahun 2015, jelas mengabaikan makna program jaminan sosial, untuk PNS, dan sistem jaminan sosial nasional dengan memaksakan BUMN sebagai penyelenggara jaminan sosial. Yaitu PT.Taspen sebagaimana tercatum pada pasal 7 yaitu peserta JKK, JKm, dikelola oleh PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Persero).
Munculnya secara tiba-tiba dan tidak ada perintah regulasi diatasnya, baik UU ASN apalagi UU SJSN ( yang memang tidak menjadi rujukan PP 70/2015), patut di duga adanya campur tangan Kementereian tertentu yang berkepentingan diluar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Patut di duga juga Kementerian tersebut akan lebih leluasa bekerjasama dengan BUMN (PT.Taspen), yang merupakan badan hukum persero yang memang harus mencari keuntungan dan mudah dikendalikan. Dan keuntungan tersebut dapat dinikmati bersama-sama secara seksama.
Jika penyelenggaranya BPJS Ketenagakerjaan sebagai badan hukum publik, dan nirlaba, tentu tidak dapat membagi keuntungan dan badan penyelenggara tersebut tidak bisa dikendalikan. Hanya Presiden yang dapat mengendalikan BPJS ketenagakerjaan.
Bagi PT.Taspen, posisi tersebut tidaklah nyaman benar. Kewajiban untuk melaksanakan proses transformasi program tabungan hari tua dan pembayaran pensiun pada tahun 2029, harus dibuatkan roapmapnya dari sekarang. Tata cara pengalihan program dimaksud, diatur dalam Peraturan Pemerintah.Proses tersebut tidak gampang. Harus dari sekarang direncanakan dengan matang. Karena menyangkut puluhan triliun dana pensiun dan tabungan hari tua yang harus di _take over_ ke BPJS Ketenagakerjaan.
Bagaimana persoalan utang-piutang PT.Taspen itu sendiri dan neraca keuangannya. Pada saat proses transformasi tersebut, semuanya harus terbuka, diketahui publik, dan di audit oleh Kantor Akuntan Publik.PT.Taspen dan PT.Asabri hanya tinggal punya waktu 9 tahun lagi untuk menyerahkan program tabungan hari tua, program pembayaran pensiun dan program asuransi sosial (Asabri) kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Bagi BPJS Ketenagakerjaan, tidak perlu ragu-ragu memaknai PP 49 Tahun 2018 Tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian kerja , khususnya pasal PERLTNDUNGAN Pasal 75, Ayat (1) dan ayat (2) yang sudah diuraikan di awal tulisan ini.Yaitu BPJS Ketenagakerjaan adalah badan penyelenggara jaminan sosial yang diamanatkan dalam Sistem jaminan Sosial Nasional. Tidak ada lembaga lain.Saya ada menerima dokumen via WA dari sumber yang dapat dipercaya. Judulnya Notulen Rapat Koordinasi & Sosialisasi Program JKK, dan JKm bagi PPPK dan pegawai Non-ASN pada Pemda se-wilayah Kantor cabang Utama Jakarta.
Diskusi di salah satu hotel di Jakarta, tanggal 11 Februari 2019, dengan nara sumber pejabat , Kemeneterian Hukum dan HAM ( saya kenal baik), pejabat , dari Kementerian keuangan ( juga saya kenal baik), dan dari Kemendagri.Hostnya adalah PT.Taspen Kantor Cabang Utama Jakarta. Kalau menyimak hasil notulen rapat, ada beberapa hal yang dapat menyesatkan pemahaman masyarakat tentang JKK dan JKm bagi PPPK yang diatur dalam PP 49/2018.
Ada 9 kesimpulan yang diantarnya perlu diluruskan, karena dianggap maaf “menyimpang” dan “tidak fair”.Pada butir 5 disebutkan bahwa PP 70 Tahun 20215 merupakan bagian dari pasal 2 ayat (2), PP 44 Tahun 2015. Padahal PP 70/2015, tidak ada mencantumkan dalam Menimbang maupun Mengingat PP 44/2015. Apalagi UU SJSN jelas tidak ada. Koq tiba-tiba mengklaim PP 70/2015 merupakan bagian dari PP 44/2015.
Butir 7 lebih heboh lagi. Dan sangat berbahaya karena tidak ada wewenang forum tersebut mencabut Keputusan Presiden. Kita kutip saja bunyi butir 7 yaitu: Dengan diberlakukannya PP 70/2015 dan PP 49/2018, maka peraturan Presiden No,109/2013 tentang Penahapan Kepesertaan Jaminan Sosial tidak berlaku atau dikecualikan bagi pegawai yang Pemberi kerjanya Penyelenggara Negara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Demikian juga butir 9, berbunyi; Bagi instansi pemerintah di pusat maupun daerah yang telah mendaftarkan pegawai honorer atau dengan sebutan lainnya ke BPJS Ketenagakerjaan, maka dengan telah berlakunya PP 49/2018 wajib mengalihkan kepesertaan atau mendaftarkannya ke PT.Taspesn Persero.Butir tersebut sangat tendensius, dan dapat merusak hubungan baik antara lembaga negara dan lembaga pemerintah / BUMN.Butir 9 tersebut, bertolak belakang dengan seharusnya, yaitu PP 49/2018 mencantumkan JKK, dan JKm, diselenggarakan dengan sistem jaminan sosial nasional, merupakan amanat UU SJSN untuik *harus di selenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan*.
Notulen ditanda tangani oleh Kepala Cabang Utama Jakarta PT.Taspen, Mudah-mudahan isi notulen itu tidak benar. Dan jika perlu ada klarifikasi dari pihak terkait.
Cibubur, 14 Februari 2019
Discussion about this post